Minggu, 13 November 2011

PERGOLAKAN POLITIK pada masa Demokrasi Liberal Terpimpin

A. PERISTIWA DI/TII DIBERBAGAI DAERAH

1.DI/TII di Jawa Barat

                Berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian Renville, Divisi Siliwangi harus melakukan Hijrah ke pusat pemerintahan RI di Yogyakarta. Sekita 35.000 anggota Divisa Siliwangi harus diangkut dengan kapal dari Cirebon, ke Rembang, Jawa Tengah. Dalam kegiatan itu pasukan Hisabullah dan Fisabilillah yang berada dibawah pengaruh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo tetap tinggal di Jawa Barat dan tidak tunduk pada perjanjian tersebut. Akibatnya ,Jawa Barat menjadi kosong oleh kekuatan pasukan Republik. Pasukan Hisabilillah dan Fisabilillah memanfaatkan kekosongan itu dengan menyusun struktur pertahanan yang merupakan cikal bakal sebuah Negara. Kartosuwiryo bercita-cita mendirikan Negara Islam di Indonesia yang terpisah dari RI.
                Gerakan Separatis Kartosuwiryo organisasi yang dinamakan Darul Islam (DI).
Sebagai persiapan, pada bulan Februari 1948 Kartosuwiryo menyelenggarakan kongres Islam di Cisayong, Jawa Barat. Isi Kongres  tersebut adalah :
a.       Kartosuwiryo menjadi imam (pemimpin teringgi) dari Negara Islam Indonesia (NII)
b.      Pembentukan angkatan perang yang dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII).
c.       Penetapan UU NII, yaitu Qanun Asasy Negara Islam Indonesia.
Pada tanggal 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII)di Desa Malangbong, Kabupaten Tasikmalaya. DI/TII kemudian merembet ke Jawa Tengah,Aceh, Sulawesi Selatan ,dan Kalimantan Selatan.
                Pasukan Divisi Siliwangi melakukan long march ketempat asalnya di Jawa Barat, mereka di hadang orang-orang DI/TII. Pertempuran antara keduanya pun tak dapat dhindarkan. Pertempuran terjadi di Desa Antralina, Malangbong pada 25 Januari 1949. Pihak Republik cukup sulit menumpas gerakan separatis DI/TII. Hal ini disebabkan beberapa hal berikut :
a.       Perhatian TNI terpecah menghadapi dua musuh sekaligus, yaitu Belanda dan DI/TII.
b.      Basis Gerilya DI/TII berada di medan pegunungan.
c.       Pada awal pergerakan, DI/TII mendapat bantuan dari rakyat yang dihasutnya.
d.      DI/TII mendapat songkongan dana dari beberapa pemilik perkebunan Belanda dan tokoh-tokoh Pasundan.
Pemerintah RI berusaha melakukan pendekatan pribadi terhadap Kartosuwiryo yang dilakukan oleh Muhammad Natsir (ketua partai Masyumi), dengan tujuan agar DI/TII kembali ke pangkuan RI. Namun , usaha tersebut tidak memperoleh hasil. Oleh karena itu TNI terpaksa menggelar Operasi Pagar Betis yang mengikut sertakan kekuatan Rakyat. Melalui strategi ini , ruang gerak dan wilayah kekuasaan DI/TII semakin sempit. Akibatnya dari hari ke hari banyak anggota DI/TII menyerahkan diri kepada pemerintah. Pada tanggal 4 Juni 1962 akhirnya kesatuan Divisi Siliwangi dapat menangkap Kartosuwiryo beserta keluarganya di atas gunung Geber daerah Majalaya. Selanjutnya ia dijatuhi hukuman mati.






2.DI/TII di Jawa Tengah


                DI/TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fattah. Ia berhasil menghimpun pengikut di daerah Brebes , Tegal, dan Pekalongan. Ia mendeklarasikan berdirinya DI/TII di Desa Pangarasan Tegal pada 23 Agustus 1949. Tujuan mendirikan NII tersebut untuk bergabung dengan DI/TII yang ada di Jawa Barat.
                Pemerintahan berupaya menumpas pengacau keamanan dengan membentuk komando operasi militer yang diberi nama Gerakan Banteng Negara (GBN) pada bulan Januari 1950. Operasi ini untuk sementara waktu dapat memperlemah kekuatan DI/TII Jawa Tengah. Namun beberapa waktu kemudian, gerakan DI/TII di Jawa Tengah yang hampir melemah itu menjadi kuat kembali tatkala para pelarian Angkatan Umat Islam (AUI), gerakan Merapi Merbabu Complex (MMC), dan pembelot dari batalyon 426 daerah kudus dan Magelang, bergabung. Menghadapi persoalan ini, Divisi Diponegoro kembali menggelar operasi militer dengan nama Banteng Raiders. Operasi ini ternyata dapat menghancurkan DI/TII di perbatasan Pekalonngan-Banyumas pada bulan Juni 1954.


3.DI/TII di Sulawesi Selatan

                Dipimpin oleh Kahar Muzakar. Ia berhasil menghimpun dan memimpin lascar-laskar gerilya di Sulawesi Selatan dengan nama komando Gerilya  Sulawesi Selatan (KGSS). Pada 30 April 1950 Kahar Muzakar mengirim surat kepada pemerintah dan pimpinan APRIS yang isinya menntut agar semua anggota KGSS dimasukan dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan ini ditolak dengan alasan yang diterima APRIS hanya mereka yang lulus seleksi. Pemerintah memberikan tempat bagi para gerilyawan dalam wadah yang dinamakan Korps Cadangan Nasional.
                Pendekatan politik pemerintah rupanya membawa hasil. Kahar muzakar menerima keputusan pemerintah. Ia kemudian diberi pangkat letnan colonel. Akan tetapi ,saat pelantikan akan dilakukan pada 17 Agustus 1950 ,ia melarikan diri kehutan dengan membawa peralatan yang telah disiapkan untuk pelantikan tersebut. Ia menyatakan Sulawesi selatan merupakan bagian NII dibawah pimpinan Kartosuwiryo. Selama 13 th Kahar Muzakar melakukan berbagai aksi terror dan kekacauan di Sulawesi Selatan. Pasukan TNI dari Divisi Diponegoro terus enerus melancarkan serangan sehingga lambat laun memperlemah kedudukan DI/TII. Akhirnya pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar tertembak mati.


4. DI/TII di Kalimantan Selatan

                Dipimpin Seorang oleh seorang bekas Letnan Dua TNI yang bernama Ibnu Hadjar. Ia mendeklarasikan berdirinya DI/TII di Kalimantan Selatan pada 10 Oktober 1950 dan menyatakan gerakkannya sebagai bagian dari DI/TII kartosuwiryo. Ia menamakan pasukannya Kesatuan Rakyat Yang Tertindas (KRYT).
                Aksi kekacauan dan terror mulai dilancarkan Ibnu Hadjar dan pasukannya dengan cara menyerang pos-pos kesatuan tentara diberbagai daerah Kalimantan Selatan. Meskipun demikian, pemerintah masih memberikan kesempatan kepada Ibnu Hadjar untuk menghentikan gerakannya. Ibnu Hadjar menerima uluran tangan pemerintah RI dengan cara menyerahkan diri dan bergabung dengan APRIS. Kenyataannya, ia hanya mngelabui pemerintah sebab setelah menerima perlengkapan militer , ia dan beberapa kawannya melarikan diri kehutan untuk melanjutkan aksi pembangkangannya. Perbuatan Ibnu Hadjar ini telah berulangkali dilakukannya. Oleh karena itu pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas dengan mengempur Ibnu Hadjar dan Pasukannya . Pada tahun 1959, gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan dapat ditumpas da Ibnu Hadjar ditangkap.


5.DI/TII di Aceh

                Dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh. Penyebabnya ia kecewa dengan hilangnya kedudukan sebagai gubernur militer dan turunnya status Aceh dari sebuah daerah istimewa menjadi Karesidenan. Pada 20 September 1953 Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang menyatakan Aceh merupakan bagian dari NII pimpinan Kartosuwiryo. Setelah itu ia dan pengikutnya melakukan gerakan menguasai kota-kota yang ada di Aceh. Mereka berusaha pula memengaruhi rakyat dengan propaganda yang menjelek-jelekan pemerintahan RI.
                Pemerintah RI berusaha mengataasi gerakan DI/TII di Aceh ini dengan mendatangkan pasukan dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah. Sedikit demi sedikit mereka didesak dari kota-kota yang didudukinya hingga gerakan perlawanan DI/TII hanya dilakukan di hutan-hutan. Selain itu TNI juga memberikan penerangan kepada rakyat atas kesalah pahamannya dan mengembalikan kepercayaan kepada pemerintahan. Akhirnya antara tanggal 17-28 Desember 1962 diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh atas atas inisiatif Kolonel M.Yasin, Panglima Kodam (Pangdam) I Iskandar Muda ,Aceh. Musyawarah ini didukung oleh tokoh-tokoh pemerintah daerah dan rakyat, sehingga pemberontakan dapat diakhiri dengan cara Musyawarah. Tengku Daud Beureueh lantas menerima amnesti dan kembali ke tengah-tengah masyarakat Aceh.


B. PERISTIWA  PRRI DI SUMATRA

                Munculnya pemberontakkan PRRI berawal dari acara reuni mantan Divisi Banteng di Padang pada 20-25 Nopember 1956. Pertemuan ini melahirkan kesepakatan perlunya otonomi daerah yang seluas-luasnya untuk menggali potensi daerah dan kekayaan daerah guna memenuhi usaha pembangunan. Selain itu disetujui pula pembentukan Dewan Banteng yang diketua oleh Letkol. Achmad Husein, Komandan Resimen IV Tentara dan Teritorium I yang berkedudukan di Padang. Hasil pertemuan itu kemudian disampaikan kepada Drs.Moh.Hatta dan Mr.A.G.Pringgodigdo di Jakarta. Akan tetapi ,delegasi Dewan Banteng gagal  menemui Presiden RI sehingga tidak berhasil tidak berhasil memperjuangkan aspirasi daerahnya.
                Sejak 9 Desember 1956 Kasad mengeluarkan pengumuman yang melarang perwira-perwira Angkatan Darat melakukan kegiatan Politik. Laranagan tersebut ternyata tidak diindahkan  bahkan Letkol Achmad Husein berani mengambil alih kekuasaan pemerintah daerah Sumatra Tengah dari Gubernur  Ruslan Muljohardjo pada 20 Deember 1956. Adapun dalih yang dikemukakan bahwa gubernur yang diangkat pemerintah pusat dipandang tidak berhasil menjalankan pembangunan daerah. Bersamaan dengan peristiwa itu, didaerah lain muncul beberapa Dewan :
a.       Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon.
b.      Dewan Garuda di Sumtra Selatan yang dipimpin oleh Letkol . Barlian.
c.       Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Letkol . Ventje Sumual.
Pada bulan Maret 1957 diadakan kanferensi Panglima Tentara dan Teritorium seluruh Indonesia untuk menyelesaikan masalah pusat-daerah. Kemudian diselenggarakan musyawarah nasional pembangunan (munap) pada November 1957 yang bertujuankan mempersiapkan usaha pembangunan didaerah-daerah secara integral. Namun usaha-usaha tersebut ternyata tidak berhasil mengatasi masalah daerah yang semakin bergolak. Dalam perkembangan selanjutnya, pada 9 Januari 1958 diselenggarakan pertemuan rahasia di sungai Dareh, Sumatra Barat. Pertemuan ini dihadiri para panglima pendiri dewan-dewan dan tokoh-tokoh dari pihak sipil, seperti Syarif Usman, Burhanudin Harahap, dan Syafrudin Prawiranegara. Mereka memperbincangkan soal pembentukan pemerintahan baru. Keesokan harinya diadakan rapat raksasa di Padang. Letkol Achmad Husein selaku pimpinan rapat mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat yang menuntut agar Kabinet Djuanda menyerahkan mandate kepada presiden dalam waktu 5 x 24 jam dan presiden diminta untuk kembali kepada kedudukan semula sebagai presiden dan konstitusional. Ultimatum ini ditolak pemerintah  pusat bahkan Letkol.Achmad Husein dan kawan-kawannya dipecat dari angkatan darat.
                Suasana bertambah genting tatkala Achmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)di Padang pada 15 Februari 1958. Pemerintah baru tersebut menyusun cabinet dengan Syarifruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Pemerintahan RI  menilai gerakan separatis di Sumatra ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Gerakan tersebut harus ditumpas dengan kekuatan senjata . pemerintah lantas membentuk operasi gabungan yang mengikutsertakan angkatan darat, laut, dan udara. Operasi militer yang dilancarkan pemerintah RI guna menumpas pemberontakan PRRI adalah :
1.        Operasi Tegas dibawah pimpinan Letkol Kaharuddin Nasution dengan sasaran mengamankan wilayah Riau.
2.       Operasi 17 Agustus dibawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani dengan sasaran mengamankan wilayah Sumatra Barat.
3.       Operasi Saptamarga dibawah pimpinan Brigjen Djatikukumo dengan sasaran mengamankan Wilayah Sumatra Utara.
4.      Operasi Sadar dibawah pimpinan Letkol Dr. ibnu Suwoto dengan sasaran mengamankan wilayah Sumatra Selatan.
Dalam waktu singkat operasi gabungan dapat menumpas perlawanan PRRI. Satu persatu pimpinan PRRI menyerahkan diri pada pemerintah. Pada 29 Mei 1961 Achmad Husein beserta pasukannya melaporkan diri. Dengan demikian berakhirlah pemberontakan PRRI.


C. PERISTIWA PERMESTA DI SULAWESI

                Di Makasar pada 2 Maret 1957 Panglima Tentara dan Teritorium VII Letkol Ventje Sumual memproklamasikan berdirinya Piagam Perjuangan Semesta (PERMESTA). Gerakan ini meliputi wilayah Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Maluku. Piagam tersebut ditandatangani 51 tokoh masyarakat Indonesia bagian Tmur. Ventje Sumual dan tokoh-tokoh lain menyatakan bahwa Indonesia bagian timur dalam keadaan bahaya dan seluruh pemerintahan daerah diambil alih kaum militer. Selanjutnya dalam rapat-rapat raksasa di Sulawesi, Kolonel D.J. Somba megeluarkan pernyataan bahwa sejak 17 Februari 1958 Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengan memutuskan hubungan dengan pemerintahan pusat serta mendukung PRRI.
                Gerakan separatis diwilayah Indonesia di bagian timur ini membahayakan keutuhan Negara RI. Pemerintah segera bersikap tegas untuk menumpas Permesta dengan melancarkan operasi gabungan , yaitu operasi Merdeka yang dipimpin Letkol Rukmito Hendraningrat. Operasi ini terdiri dari beberapa bagian :
1.        Operasi Saptamarga I dibawah pimpinan Letkol Soemarsono dengan daerah sasaran Sulawesi Utara bagian tengah.
2.       Operasi Saptamarga II dibawah pimpinan Letkol Agus Prasmono dengan daerah sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan.
3.       Operasi Saptamarga III dibawah pimpinan Letkol Magenda dengan daerah sasaran Kepulauan sebelah utara Manado.
4.      Operasi Saptamarga IV dibawah pimpinan langsung Letkol Rukmito Hendraningrat dengan daerah sasaran Sulawesi Utara.
5.       Operasi Mena I  dibawah pimpinan  Letkol Pieters dengan sasaran Jailolo.
6.      Operasi Mena II dibawah pimpinan Letkol KKO Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera.
Operasi militer APRI di Indonesia bagian Timur menghadapi perlawanan yang lebih berat daripada operasi di Sumatra. Hal ini disebabkan situasi daerah sangat menguntukan pemberontak. Selain itu, Permesta memiliki persenjataan modern berupa pesawat-pesawat pembom B-26 dan pemburu  Mustang yang diduga merupakan bantuan Amerika Serikat. Meskipun demikian, lambat laun APRI berhasil menguasai daerah-daerah kekuasaan Permesta. Pada pertengahan tahun 1961 sisa-sisa Permesta menyerahkan diri dan memenuhi seruan pemerintah untuk kembali ditengah-tengah masyarakat.


D. PERISTIWA APRA DI BANDUNG

            Salah satu bunyi kesepakan KMB menyatakan bahwa KNIL dibubarkan dan selanjutnya bekas anggota KNIL yang masih berkeinginan menjadi anggota angkatan perang diwajibkan bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Namun pada kenyataannya, pembentukan APRIS telah menimbulkan ketegangan-ketegangan yang berakhir dengan pertumpahan darah. Di kalangan TNI sendiri ada keengganan bergabung dengan bekas KNIL. Sebaliknya bekas anggota KNIL menuntut agar kesatuan-kesatuannya ditetapkan sebagai angkatan perang Negara bagian. Di Bandung bekas Anggota KNIL yang tidak mau bergabung dengan APRIS membentuk organisasi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Raymond Westerling, bekas perwira Belanda. APRA menuntut kepada pemerintah RIS agar organisasinya diakui sebagai tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya Negara Pasundan. Tuntutan ini tidak digubris oleh RIS.
                Maka pada 23 Januari 1950 APRA melancarkan serangan terhadap kota Bandung. Sejak pagi buta  mereka membunuh setiap anggota TNI yang dijumpainya. Mereka pun berhasil menduduki markas Staf Divisi Siliwangi setelah membunuh 15 orang regu jaga diantaranya ialah Letkol Lembong.
Penyerbuan APRA tidak diduga sebelumnya sehingga gerombolan ini berhasil menguasai kota Bandung untuk beberapa jam. Apalagi pada waktu yang bersamaan kesatuan-kesatuan Divisi Siliwangi baru beberapa saat memasuki kota Bandung setelah melakukan long march dari Yogyakarta. Demiikian juga Panglima Divisi Si;iwangi Kolonel Sadikin yang sedang mengadakan peninjauan ke Subang bersama Gubernur Jawa Barat, Sewaka.
                Untuk menanggulangi gerombolan APRA Pemerintah RIS segera mengirimkan bala bantuan ke Bandung. Bala bantuan itu didatangkan dari kesatuan-kesatuan polisi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang ketika itu berada di Jakarta. Di kota Bandung saat itu, tengah dilangsungkan pertemuan antara Drs.Moh. Hatta dengan Komisaris Tinggi  Belanda. Hasilnya memutuskan agar komandan  Tentara Belanda di Bandung, Mayjen Engels mendesak Westerling untuk segera pergi dari Bandung. Gerombola APRA mematuhi perintah dari Jakarta sehingga pada sore hari mereka meninggalkan Bandung dan menyebar keberbagai tempat. Pasukan TNI dengan bantuan rakyat mengadakan mngejaran terhadap gerombolan APRA yang sedang melakukan gerakan mundur. Dalam suatu pertempuran didaerah Pacet Cianjur, pasukan TNI berhasil menghancurkan sisa-sisa gerombolan APRA.
                Setelah berhasil meloloskan diri dari Bandung ,Westerlling melanjutkan makarnya di Jakarta. Ia merencanakan untuk menangkap semua menteri RIS dan beberapa pejabat penting lainnya. Akan tetapi, berkat kesiagaan TNI, gerakan tersebut dapat digagalkan. Setelah melalui suatu penyelidikan yang cermat, diketahui bahwa dalang utama gerakan itu ialah Sultan Hamid II (bekas ketua BFO). Pemerintah segera menangkap Sultan Hamid II. Sayang pemerintah gagal menangkap Westerling karena ia telah melarikan diri ke Negaranya.


E. PERISTIWA ANDI AZIS DI MAKASSAR

                Gangguan keamanan di Makassar dilakukan oleh Andi Azis beserta para pengikutnya (bekas pasukan KNIL). Mereka melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pada 5 April 1950.
Sebelum pemberontakan terjadi, Andi Azis beserta satu kompi anak buahnya telah diterima  APRIS pada 30 Maret 1950. Ia diangkat sebagai komandan kompi dengan pangkat kapten. Penggabungan pasukan Andi Azis kedalam APRIS disaksikan Letkol A.Y. Mokoginta, panglima tentara dan teritorium Indonesia Timur. Beberapa hari setelah pelantikan Andi Azis berniat menggerakkan pasukannya untuk menawan Letkol Mokoginta beserta seluruh stafnya. Dalihnya meskipun ia anak dan buahnya telah bergabung dengan APRIS, tetapi ia tidak mau menerima kehadiran 900 pasukan APRIS yang berasal dari TNI. Pagi-pagi sekitar pukul 05.00 ,Andi Azis dengan pasukannya menyerang markas TNI di Makassar Sehingga pecah pertempuran antara pasukan Andi Azis dan pasukan TNI. Pasukan TNI jumlahnya sedikit sehingga gerombolan Andi Azis mudah menguasai Makassar. Tidak sedikit prajurit TNI  menjadi korban, sedangkan beberapa perwira TNI yang tidak tertawan Negara mengundurkan diri dan melakukan konsolidasi.
                Setelah mnguasai Makassar Andi Azis menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur (NIT) harus dipertahankan. Andi Azis menuntut agar pasukan APRIS bekas KNIL diberikan kekuasaan untuk bertanggung jawab atas keamanan di Wilayah NIT. Tuntutan ini ditolak pemerintah RIS. Pada 8 April 1950 pemerintah mengeluarkan Ultimatum yang mengintruksikan Andi Azis harus dating ke Jakarta dan mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam tempo 4 x 24 jam. Namun, Ultimatum ini tidak di Indahkan Andi Azis.
                Setelah batas waktu ultimatum terlewati ,pemerintah mengirim sejumlah pasukan untuk menumpas gerombolan Andi Azis. Pasukan yang didatangkan dari pusat ini dipimpin oleh Kolonel Alex untuk menghancurkan gerombolan. Hasilnya pada 15 April 1950 Andi Azis terpaksa berangkat ke Jakarta untuk menyerahkan diri.



F. PERISTIWA RMS DI MALUKU

                Republik Maluku Selatan (RMS) dibentuk oleh Dr.Soumokil (bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur) pada 25 April 1950 di Ambon. Gerakan separatis RMS memiliki kesamaan motivasi dengan APRA dan Andi Azis, yaitu tidak menerima terjadinya proses kembalinya ke Negara kesatuan dan tidak menyetujui penggabungan KNIL  ke dalam APRIS. Sebelum RMS diproklamasikan, Dr.Soumokil berhasil memindahkan sejumlah pasukan KNIL . Pendukung Andi Azis dari Makassar ke Ambon. Pasukan ini  rupanya dijadikan kekuatan utama untuk menjaga dan mengamankan berdirinya RMS. Selanjutnya pasukan bekas KNIL. Andi Azis bersama pasukan KNIL di Ambon mulai melakukan praktik intimidasi, terror dan serangkaian pembunuhan di berbagai tempat.
                Semula pemerintah RIS berupaya menyelesaikan persoalan RMS dengan cara damai. Misi damai pemerintah ini diketuai Dr.J .Leimena. akan tetapi usaha ini tidak membawa hasil yang diharapkan sehingga pemerintah memutuskan untuk menumpas RMS dengan kekuatan senjata.
Untuk keperluan itu, dibentuklah pasukan ekspedisi khusus dibawah pimpinan colonel Alex Kawilarang. Pasukan ekspedisi APRIS/TNI mulai melakukan pendaratan di Laha. Pulau Buru pada 14 Juli 1950. Mereka bersusah payah menaklukan beberapa pos penting di pulau itu. Pasukan selanjutnya bergerak untuk menguasai pulau Seram, Tanimbar, Kepulauan Kei, dan Kepulauan Aru.
                Pada saat berupaya menguasai Ambon, pasukan APRIS dibagi kedalam tiga kelompok dengan pimpinan yaitu Mayor Achmad Wiranata Kusumah, Letkol Slamet Riyadi, dan Mayor Suryo Subandrio. Pasukan yang diberika tugas menguasai Ambon mulai mendarat disana pada 28 September 1950. Kedatangan mereka disambut hangat oleh rakyat Ambon. Mereka lantas bergabung melancarkan serangan pada gerombolan RMS. Serangan – serangan itu dilindungi tembakkan dari udara dan laut. Aksi bersama ini mendesak RMS untuk bertahan dibenteng Nieuw Victoria.
                Sebagai pukulan terakhir ,benteng Nieuw Victoria diserang dari segala penjuru. Pertempuran berlangsung secara dramatis. Mereka bertempur satu lawan satu. Dalam pertempuran jarak dekat didepan benteng, Letkol Slamet Riyadi tertembak. Kejadian ini menimbulkan amarah dari seluruh pasukan APRIS sehingga serangan pun diperhebat. Akhirnya benteng itu dapat direbut. Sayangnya Soumokil dan beberapa pengikutnya dapat meloloskan diri kehutan Pulau Seram.
Jatuhnya Ambon sangat melemahkan perlawanan RMS . Pasukan APRIS terus memburu  Soumokil dan sisa pasukannya. Pada 12 Desember 1963 Soumokil berhasil ditangkap dan dihadapkan ke Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta. Dalam sidang tersebut diputuskan Soumokil dijatuhi Hukuman mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar